“Yaman bukannya lagi perang?” tanya teman saya ketika saya sedang asik mencari “what to visit in Yemen” di Google. Instan pencarian saya di Google langsung berubah. Mendapatkan hasil yang tidak menenangkan hati, saya akhirnya menelepon orangtua di Jakarta. Rupanya orangtua saya juga belum terinformasi. Setelah bertanya pada ustaz yang mengajak kami, jawaban yang kami dapatkan adalah, “daerah konfliknya di ibukota, jauh dari kota tujuan kita, seperti jarak Jakarta-Surabaya.”
***
Menginjakkan Kaki di Yaman
Kami turun dari mobil di jalan yang membawa kami ke sebuah gang. Hari sudah malam, tapi saya bisa melihat bangunan kotak berwarna coklat muda kekuning-kuningan yang sama dengan tanah. Melalui pintu yang terlihat di tengah gang, kami masuk ke dalam rumah. Kerumunan orang yang didominasi anak kecil menyambut kami. Mereka merupakan keluarga terdekat Ustaz saat beliau belajar di Tarim, berpuluh-puluh tahun yang lalu.
Kota kecil Tarim di provinsi Hadhramaut adalah tujuan kami di Yaman. Orangtua saya ingin ziarah dan memenuhi rasa penasaran bagaimana suasana kota pesantren ini, di saat Ustaz mengantarkan putrinya yang akan belajar di sini selama beberapa tahun ke depan. Mengikuti jejak ayahnya, sang putri sulung berniat untuk belajar di sini, tempat kelahirannya.
Begitu masuk rumah, laki-laki dan perempuan langsung dipisahkan. Laki-laki ke kiri, sedangkan perempuan ke kanan, menuju ke tangga yang mengarah ke lantai atas. Begitu sampai di ujung tangga dan masuk ke sebuah pintu, tikar sudah tergelar. Mata dan hidung kami langsung disuguhi makanan-makanan yang sudah memenuhi lantai ruangan.
Waktu sudah menunjukkan waktu lebih dari jam 9 malam, tapi Alyuwah, begitu kami menyebut Ibu pemilik rumah berumur sekitar 70-an tahun, bersama anak-anak ipar perempuan dan cucu-cucunya ikut makan bersama kami. Lebih dari 10 jam perjalanan darat ditambah perut kosong sepertinya kombinasi yang tepat untuk kami meraup satu loyang nasi arab, kambing, dan asinan-asinan yang tersaji.
Sambil makan, kami saling berkenalan. Walau baru kenal, suasana ramai dan hangat tawa, dengan bantuan translasi istri Ustaz, tentunya.
Benarkah ini negara konflik?
Terjebak Situasi
Seharusnya saya tidak ikut ke Yaman. Jika sesuai rencana, perjalanan saya berakhir di Oman, sehabis umroh, sementara orangtua saya melanjutkan perjalanan ke Yaman bersama Ustaz dan keluarganya. Sebenarnya bisa saja saya pulang langsung setelah umroh bersama anggota rombongan umroh yang lain, tapi rasa penasaran menguasai saya. Godaan untuk menambah cap negara baru (Oman) di paspor begitu besar.
Tetapi, sesampainya di Oman, saya sakit. Batuk iya, sesak napas iya, yang bahkan sebelumnya tidak pernah pakai inhaler, di sana saya beli inhaler. Cukup jelas: saya tidak bisa pulang sendiri. Bagaimana kalau terjadi apa-apa di udara yang tingkat oksigennya lebih sedikit? Bagaimana kalau tidak kuat jalan jauh dari satu gate ke gate yang lain di bandara yang super luas?
Dari beberapa alternatif, saya akhirnya ikut orangtua saya ke Yaman dengan alasan sederhana; mereka bisa merawat saya lebih baik daripada saya merawat diri saya sendiri. Maklum, saat itu saya belum punya pengalaman sama sekali dalam melakukan perjalanan solo. Saya harus merelakan single ticket saya utk pulang ke Indonesia, merelakan kesempatan saya saat itu untuk interview konferensi di Amerika.
Kehidupan di Tarim
Saya ingat berpikir, “orang Yaman lebih mirip orang India ya daripada orang Arab.” Wajahnya itu, loh, dengan perpaduan wajah khas Arab, tetapi dengan warna kulit kecoklatan. Entah kenapa, jadi mirip orang India. Hal ini tidak terkecuali dengan keluarga Alyuwah.
Di balik burka hitam yang menemani keseharian perempuan di Yaman, wajah-wajah ini begitu ramah. Di rumah, mereka menanggalkan burka yang melapisi pakaian warna-warni mereka. Ternyata, wanita-wanita Yaman juga senang pakai daster, tidak hanya orang Indonesia saja.
Beberapa hari pertama di Tarim, jika bukan berziarah, kami sibuk pergi-pergi ke jamuan makan dengan pemuka agama di Tarim. Saya tidak terlalu mengerti saat itu, jadi kalau saya diminta untuk menyebutkan ustaz atau syekh mana yang kami temui, saya menyerah. Dengan keterbatasan bahasa, komunikasi saya di setiap jamuan hanya sekadar mengucapkan “assalamu’alaikum” atau menjawabnya.
Ke mana-mana, kami selalu ditemani setidaknya salah satu dari dua putra bungsu keluarga Alyuwah. Yang satu pelajar, yang satu guru bahasa Inggris. Mungkin karena mereka satu-satunya yang bisa bahasa Inggris, sedangkan kami tidak bisa bahasa Arab. Secara tidak sadar, lama-lama mereka menjadi sahabat terdekat kami.
Kami bepergian dengan mobil yang dimiliki oleh keluarga Alyuwah. Dengan badan kotak ala-ala mobil lama, mobil ini membawa kami melintasi jalan yang membelah padang pasir. Gunung-gunung batu terhampar dengan background langit biru. Bagi orang Jakarta seperti saya, langit biru sangatlah memikat mata, tidak terkecuali di Yaman.
Selama di jalan, satu hal menarik perhatian kami. Di negara Timur Tengah yang terletak dekat Afrika ini, peraturan tidak berlaku. Tidak ada polisi dan lalu lintas. Inilah salah satu dampak konflik yang dapat terlihat. Kota ini hanya bergantung pada kebaikan hati masing-masing penduduknya untuk tidak melakukan kejahatan. Yah, untunglah kota ini adalah kota Islami dengan kesadaran moral yang tinggi.
Tetapi, ini belum apa-apa. Yang paling berasa dalam kehidupan sehari-hari adalah transportasi. Tidak ada kendaraan umum dalam kota. Walaupun punya kendaraan pribadi, belum tentu ada suplai BBM. Berhari-hari bisa berlalu tanpa ada restock BBM di pombensin. Ketika bensin habis, yah sudah, kami harus menunda agenda kami.
Internet? Ets, jangan tanya. Ternyata teknologi sistem jaringan di sana sangat berbeda dengan Indonesia dan belahan dunia lainnya. Indonesia sudah menggunakan sistem GSM, sedangkan Yaman masih CDMA. Ingat esia? Iya, esia adalah contoh jaringan CDMA yang butuh HP khusus untuk berfungsi.
Akibatnya, beli nomor baru di Yaman untuk komunikasi juga tidak bisa dipakai di HP kami yang dari Indonesia. HP bisa sama-sama Samsung S3, tapi HP yang beredar di Indonesia hanya bisa baca kartu GSM, sedangkan yang di Yaman hanya bisa CDMA. Dengan kata lain, kalau mau beli nomor Yaman berarti kami harus beli HP baru juga.
Alhasil, HP kami hanya bisa dipakai dengan wi-fi yang terpasang di rumah sewa kami. Itu pun dengan sinyal yang selalu membuat kami elus dada. Mau mengobrol dengan teman saja tidak bisa real time. Saya kirim jam 9, bisa baru terkirim jam 10. Hiburan saya di sana hanya games yg sudah di-download di Indonesia dan, tentu saja, memes di galeri foto.
Perjuangan Pulang
Ternyata konflik tidak hanya berdampak pada kehidupan sehari-hari penduduk Tarim sebagai warga negara Yaman. Bagi warga negara asing, seperti saya dan keluarga saya, masuk ke Yaman sangat mudah. Namun, konsekuensi terbesar dari masuk ke negara konflik baru kami ketahui sekitar seminggu kami di sana.
Kami teledor. Ternyata, ustaz kami sebagai pemandu hanya mempersiapkan jalan masuk ke Yaman, tetapi tidak dengan jalan keluar. Bandara tidak ada penerbangan, menembus perbatasan jalur darat pun sulit. Dari Yaman, kami tidak punya visa masuk negara tetangga, Oman, untuk lanjut dengan penerbangan dari sana.
Oman sudah menutup garis batasnya karena sudah banyak pengungsi ilegal menyintas. Dengan kondisi Yaman yang penuh konflik, tertutup lah kesempatan hidup layak sehingga banyak orang-orang Yaman yang pergi ke Oman dengan visa perjalanan, namun kemudian mencari pekerjaan di sana dan menetap. Akibatnya tidak hanya berdampak pada warga negara Yaman, tapi pengunjung asing di Yaman pun jadi sulit mendapatkan izin masuk Oman.
Sejak titik ini, rencana kepulangan kami jadi buyar. Berencana hanya seminggu di Yaman berujung penantian kesempatan pulang tanpa kepastian. Dengan kondisi mendesak seperti ini, kami benar-benar beli HP Yaman. Kami butuh komunikasi dengan keluarga di Indonesia. Untungnya, bekal uang yang orangtua saya bawa masih mencukupi. Kalau tidak, mau tarik uang di mana?
Konflik dengan Ustaz
“Ada rombongan lain dari Indonesia yang sudah lebih dari satu bulan tidak bisa pulang.” Awalnya, saya menganggap kata-kata itu sebagai angin lalu saja. Setelah harapan kami pulang ikut menipis, kami yang sudah memasuki minggu kedua mulai was-was, “Bagaimana kalau kami juga harus berbulan-bulan di sini tidak bisa pulang?” Tidak terbayang.
Setelah berhari-hari mengadu nasib pada agen perjalanan pilihan Ustaz tanpa hasil, pilihan kami untuk pulang ada 2: lewat jalur resmi lewat Oman dengan meminta bantuan ke KBRI Yaman atau jalur semiresmi menunggu pesawat datang ke Seiyun, kota dengan bandara terdekat dari Tarim.
Keluarga saya tidak mau mengambil alternatif jalur udara karena tidak pasti. Operasional bandara saja tidak menentu. Lebih dari 2 minggu kami di Yaman bandara tidak buka—tidak ada penerbangan. Mau menunggu sampai kapan?
Akan tetapi, entah mengapa, Ustaz kami sangat tidak mau menghubungi KBRI. Konflik mulai terjadi. Kata-kata yang sering kami dengar dari Ustaz adalah, “pasrah, Bu, pasrah,” terutama ke Ibu saya. Berkali-kali, berulang-ulang, setiap kali orangtua saya menanyakan kabar kepulangan kami dan memberikan berbagai macam ide yang bisa dilakukan, jawabannya selalu sama.
Berhari-hari bertumpu pada Ustaz dengan respon yang sangat “spiritual” tanpa hasil memberi kami pelajaran untuk mencoba berdiri di kaki sendiri. Ibu saya yang biasa berbisnis dan berkomunikasi dengan orang lain mengatakan, “kalau pasrah itu setelah berusaha semaksimal mungkin, ya. Tapi, kok, usahanya belum kelihatan maksimal, cuma nyuruh pasrah-pasrah aja. Ya, ga bisa.” After all, kalau jalan A tidak berhasil, kita harus mencari jalan B, kan?
Sayangnya, untuk mengambil jalan yang berbeda dengan Ustaz pun tidak mudah. Bukan, bukan karena apa-apa jadi harus mengurus sendiri atau tidak tahu langkah apa yang harus diambil. Ustaz memaksa kami untuk mengikuti caranya. Dia tidak mau kalau dia (sebagai guru) dengan keluarga kami (sebagai murid) sampai ke Indonesia secara terpisah.
Sepertinya ada standar dalam kepalanya, kalau guru dan murid berbeda pendapat, guru akan kehilangan integritasnya. Guru dan pendapatnya harus dijunjung tinggi. Seperti ospek saja, ada peraturan tidak tertulis. 1. Guru selalu benar, 2. Kalau guru salah, lihat peraturan pertama.
Keluarlah kata-kata kasar dan caci-maki. Tidak seburuk itu sampai kebun binatang keluar, tetapi cukup buruk untuk seorang ustaz. Saya bahkan tidak ingin mengingat dengan tepat sumpah serapahnya, tapi saya pun dibawa-bawa. “Lihat, anaknya, keluar saja tidak bisa, sakit-sakitan.” Bahkan ketika itu benar, haruskah ia mengatakannya, seakan-akan menyalahkan saya?
“Saya memang begini kalau marah!” dengan nada tinggi setengah membentak, setengah lagi saya lihat sebagai rasa bangga karena dia self-aware.
Lah, malah semakin membuat shock. Sudah tahu kalau marah jadi temperamental, kenapa jadi pembelaan? Bukannya mencoba mengontrolnya? Percuma self-aware jika tidak digunakan untuk memperbaiki diri. Permintaan maaf pun tidak keluar dari mulutnya.
Bukannya mempersuasi kami untuk ikut dengannya, semua hal yang terjadi menjadi red flag dan justru membuat kami yakin untuk tidak mengambil jalan yang sama dengan Ustaz. “Sakit hati,” Ibu saya bergumam. Siapa yang tidak? Kami sudah percaya sepenuhnya pada Ustaz untuk membawa kami ke Yaman, negeri yang asing bagi kami, justru berakhir dibentak-bentak dan dimaki-maki.
Semua orang bisa salah, termasuk seorang ustaz. Kalau orang sudah tidak sesuai dengan kata hati kita, apalagi sudah merusak kepercayaan kita, buat apa diikuti terus, apalagi guru. We should choose our teacher very carefully. Tidak perlu terlalu buta mengikuti atau mempercayai seseorang.
Sejak saat itu saya belajar bahwa tidak selamanya “orang kanan” itu suci dan benar. Terlalu kanan tanpa mengerti hubungan antarmanusia dan cara dunia ini bekerja justru akan menjadi bumerang bagi kita. Segala sesuatu memang harus seimbang, tidak berat sebelah. Sejak itu saya benar-benar berhati-hati terhadap ilmu dan orang yang saya dengarkan.
Menghubungi KBRI untuk Yaman di Salalah
Akhirnya, dengan bantuan keluarga di Jakarta, kami mendapatkan kontak KBRI untuk Yaman di Salalah. Yap, KBRI saja sudah mengungsi ke Salalah, kota di selatan Oman yang paling dekat dengan perbatasan Yaman.
Dengan internet seadanya, yang benar-benar hanya bisa dipakai aplikasi Whatsapp, kami menghubungi KBRI Yaman dan mengirim data paspor kami untuk mendapatkan visa Oman. Hari demi hari berlalu tanpa kabar. Prosesnya memang sudah bisa diekspektasikan akan lama, tetapi menunggu dalam diam cukup menyiksa. Terlebih perang dingin dengan Ustaz tetap berlangsung.
Jatuh (lebih) Sakit
Di tengah-tengah berbagai konflik batin, kesehatan saya pun menurun. Dengan kondisi saat masuk Yaman memang tidak prima, kondisi kesehatan saya di Yaman naik-turun. Lingkungan pun tidak mendukung. Yaman bertanah gersang penuh debu, bukan sahabat yang baik bagi batuk dan sesak napas. Kombinasikan dengan memes yang sudah habis dibaca berulang kali, maka lengkap sudah kesengsaraan saya.
Saya memang punya tekanan darah rendah bawaan, tetapi memasuki minggu ke-3 di Yaman, saya mencapai rekor tekanan darah terendah: 60/40. Saya sangat lemah. Untuk duduk saja saya tidak punya tenaga. Berdasarkan drama korea kedokteran yang saya tonton, kalau saat itu tekanan darah saya terus menurun, saya bisa saja di ambang kematian.
Dengan tekanan darah serendah ini, di Indonesia sudah bisa dirawat di rumah sakit. Di Yaman? Kondisi konflik seperti ini mau ke rumah sakit bagaimana caranya? Tidak ada.
Bisa jadi masih rezeki saya, Yusuf, anak bungsu Alyuwah yang sering menemani kami, pernah mengambil pendidikan keperawatan dan sempat menjadi sukarelawan. Yusuf memberi infus pada saya yang terkapar di kamar penginapan kami yang bertransformasi menjadi ruang rawat inap.
Infus diganti dua kali sehari, selama empat hari, demi menjaga kondisi dan tekanan darah saya. Saya bahkan tidak tahu bagaimana dan di mana Yusuf membeli alat dan cairan infus, tapi saya sangat bersyukur dia bisa mendapatkannya. Dia menyelamatkan hidup saya.
Selain obat dan infus, saya juga mengonsumsi sangat banyak kurma dan bayam, yang ternyata baik untuk hipotensi. Saya tekankan…sangat banyak. Kurma dan bayam dijus, menghasilkan satu gelas minuman kental berwarna hijau. Satu kali jus bisa 10-15 kurma, 3 kali sehari. Kalau seseorang bisa mabuk kurma, mungkin waktu itu saya sudah mabuk kurma. Untungnya, bahkan di negara konflik seperti Yaman, yang namanya negara Timur Tengah tidak kehabisan stok kurmanya.
Berita yang Ditunggu-tunggu
Minggu ketiga, satu minggu setelah kami mengajukan visa dengan bantuan KBRI, Ustaz mendapat info hari Kamis akan ada penerbangan ke Sudan. Saat itu Rabu malam. Kami sekeluarga berteguh hati untuk menunggu kabar dari KBRI. Pilihan ini terasa lebih logis bagi kami yang baru terdampar di daerah konflik untuk tidak memilih Sudan, negara konflik yang lain.
Menghadapi ketidakpastian lainnya? Tidak, terima kasih. Jika menunggu di Yaman, setidaknya sudah ada orang yang kami kenal dan bisa dipercaya.
Hari Kamis merupakan harapan terakhir kami untuk pergi dari negara ini. Yaman dan negara Arab lainnya memiliki sistem yang berbeda dengan Indonesia. Di sana, liburnya Jumat-Sabtu. Kalau hari Kamis kami tidak pulang, kami harus melewati akhir pekan lagi dan menunggu hari kerja berikutnya. Kami sudah terlalu lelah. Tiga minggu saja sudah cukup. Kami tidak bisa membayangkan harus menghabiskan beberapa hari lagi di Yaman. Kami sudah cukup tersiksa.
Besoknya, Ustaz dan istrinya pergi pagi-pagi sekali menuju bandara di kota sebelah, Seiyun. Kami sudah pasrah. Tidak ada lagi yang bisa kami lakukan selain berdoa.
Tiba-tiba, sekitar pukul 9 pagi, ada chat Whatsapp masuk. Terlihat kontak KBRI lah yang mengontak kami. Harap-harap cemas. “Ada informasi apa?”
Kabar yang kami tunggu-tunggu datang. Kami mendapatkan visa untuk masuk ke Oman. Keteguhan kami untuk menunggu kabar dari KBRI terbayarkan. Visa datang tepat sebelum memasuki akhir pekan. Kami bisa pulang! Tanpa basa-basi, kami langsung ke terminal membeli tiket bus ke Oman untuk keberangkatan nanti malam.
Perpisahan
Saat berita bagus untuk kami bisa pulang itu datang, datang pula waktu untuk berpamitan dengan keluarga Alyuwah. Berada di daerah konflik yang penuh dengan ketidakpastian, keluarga ini telah menjadi source of comfort bagi kami. Bahkan ketika kami berkonflik dengan Ustaz, dukungan dan bantuan dari keluarga ini tidak berhenti mengalir.
Setidaknya saya, menangis lepas ketika harus mengucapkan perpisahan kami. Tangisan antara kebahagiaan kami bisa pulang, tetapi juga harus dihadapkan pada kenyataan ini mungkin terakhir kalinya kami bisa bertemu dengan keluarga Alyuwah. Kecil kemungkinan kami akan kembali lagi ke Yaman setelah semua pengalaman ini, dan juga sebaliknya. Bagi orang Yaman, untuk ke negara sebelah saja susahnya minta ampun, apalagi ke Indonesia.
Menunggu perang selesai? Ah, bisakah kita berharap? Bisa bertahun-tahun lamanya mungkin untuk tercapai perdamaian lagi di Yaman. Pada kenyataan pahit itu, untuk pertama kalinya dalam hidup saya, terbesit pikiran, “semoga kami bisa bertemu lagi di surga.” Di mana lagi kami bisa berjumpa kalau bukan di surga Allah?
Bus pulang
Selama konflik dengan Ustaz, kami selalu ditakut-takuti. Bus ke Oman akan tidak aman, banyak orang yang berbahaya biasa naik busnya, bus tidak nyaman dalam perjalanan selama 8 jam, dan lain sebagainya. Apa pun dikatakan untuk mempersuasi kami ikut dengan Ustaz. Terbayang seberapa besar keberanian kami dalam memutuskan untuk mengambil jalur KBRI?
Setelah malam tiba dan bus datang, kami melihat bus menuju Salalah, Oman. Busnya begitu besar, lebih besar dari bus pariwisata di Indonesia pada umumnya. Sudah ada beberapa penumpang di dalamnya. Sepertinya penumpang dari kota sebelumnya. Keluarga Alyuwah menitipkan kami pada salah satu penumpang kenalan mereka yang kebetulan akan pergi ke Oman, menyiratkan kami berada di tangan yang tepat dan aman.
Tampaknya bus ini berasal dari Oman. Kursinya cukup ergonomis, mengizinkan kami untuk duduk dengan nyaman. Temperatur pun terjaga dengan baik, bahkan terlalu dingin untuk ukuran kami. Delapan jam perjalanan, tidak satu pun ketakutan yang ditanamkan pada kami terbukti. Kami tertidur lelap hingga pagi hari datang saat bus tiba di Salalah.
Ajaib, begitu tiba di Salalah dan bertemu orang KBRI, sakit saya hilang. Tubuh saya jadi sangat ringan, lari-lari pun mampu, padahal sampai 2 hari sebelumnya saya masih terkapar lemah dengan cairan infus membantu menyokong hidup saya. “Akhirnyaa, Putri tertawa,” ucap orangtua saya. Apa saya sakit karena stres?
***
Epilog
Mengingat beberapa hari di Yaman kami menderita, tidak semua orang berpikir kehidupan di Yaman adalah penderitaan. Dua hari di Yaman, beberapa pelajar Indonesia yang kami temui memperlihatkan sikap sebaliknya. Mereka mengajak saya dan ibu saya untuk tinggal, setidaknya untuk beberapa bulan, di Yaman. “Ayo belajar di sini, 6 bulan aja.”
Bilang “iya” untuk basa-basi saja rasanya tidak mampu, tapi bukan berarti tidak kepikiran. Pertanyaan menarik sebenarnya. Walaupun tidak mau, tetapi pikiran “kenapa tidak?” terngiang-ngiang di kepala. “Enak, kali, ya, kalau kita fokus hanya pada Allah dalam kehidupan sehari-hari kita, tanpa interupsi. Fokus 100% untuk ibadah–secara harfiah.”
Setelah mengalami berbagai peristiwa dan konflik, saya sadari, that wasn’t my world. That wasn’t the world I was prepared for.
Ada banyak jalan menuju Roma. Cara mencapai surga tidak hanya satu. Untuk mendapat ridha Allah, ada orang-orang yang panggilan hatinya memang menjadi pendakwah agama, sedangkan yang lainnya… kerja keras bagai kuda untuk menafkahi keluarga atau fokus menciptakan sesuatu yang memiliki nilai dan dampak untuk orang lain.
Mungkin sejak saat itu lah saya berhenti mencoba untuk menjadi “suci”. Menjadi orang baik dan seorang hamba yang lebih baik, tentu. Tapi, kita tidak perlu menetapkan standar setinggi seorang ustaz. Setiap orang punya kelemahan dan perjuangannya masing-masing, bahkan orang yang kita lihat “suci” sekalipun. Saya belajar untuk lebih percaya pada diri saya sendiri dan proses yang saya alami. Being me, I’ll find a way to serve Him and spread impacts to my surroundings.